Ada wangi menyeruak di sepanjang Jalan Panggung yang masih tampak canggung. Mungkin yang tampak bagi kebanyakan orang adalah para pedagang klompen, sandal kayu, yang menggelar dagangannya di pinggir jalan. Atau mungkin lebih populer Pasar Pabean, yang terkenal dengan pasar ikan, di ujung jalannya. Mungkin saja itu persepsi bagi sebagian orang kala melintas di Jalan Panggung.
Sebenarnya ada yang khas di sini, di sepanjang jalan yang tak jauh dari Sungai Kalimas itu, berderet para pedagang Bibit Parfum. Bahan wangi-wangian aneka jenis bisa di dapat di sini, kebanyakan berbahan impor. Di sekitar Jalan Panggung, bagaimana kalau kita sebut dengan Kampung Wangi.
Mungkin sekarang begitu mudah menemui penjual bibit parfum, karena sudah tersebar di semua penjuru kota. Di setiap mal pun ada penjual bibit parfum, hingga memudahkan pembeli untuk mengisi ulang botol parfum kegemarannya. Mungkin sebagian orang masih terpikat akan merek-merek tertentu, namun tidak sedikit pula mereka yang memilih membeli bibit wewangian sebagai sumber aroma.
Berdasar beberapa cerita, sebut saja dari seorang pedagang bibit parfum yang sudah puluhan tahun menggeluti dunia wangi-wangian di sana, mulanya orang berjualan bibit parfum hanya di sekitar Jalan Panggung. Konon pertama kali ditekuni oleh orang-orang Arab, yang kebanyakan tinggal di sekitar Kalimas terutama kawasan Ampel.
Menurut catatan G.H. Von Faber, (Oud Soerabaia: De geschiedenis van Indie's eerste koopstad van de oudste tijden tot de instelling van den gemeenteraad), 1906, (Surabaya: Gemeente Soerabaia, 1931). Pada awal abad ke-19 imigran asing di kota Surabaya yang jumlahnya juga cukup banyak adalah orang Arab. Mereka rata-rata berasal dari Hadramaut, jazirah Arab bagian selatan (Yaman).
Menurut Von Faber, imigran Arab mulai masuk di kota Surabaya pada awal abad ke-19.
Menurut L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), Kota Surabaya merupakan salah satu koloni besar Arab di Nusantara, beserta lima kota yang lain, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan Semarang. Kota Surabaya bahkan menjadi pusat dari seluruh koloni Arab di Indonesia. Lebih lanjut Berg mengemukakan bahwa koloni Arab di kota Surabaya sangat berkembang. Di kota ini dapat dijumpai orang Arab dari segala macam tempat di Hadramaut, dan dari berbagai keluarga.
Salah satu bisnis yang ditekuni orang Arab adalah perdagangan, salah satunya bibit parfum. "Saya ini melanjutkan bisnis turun temurun warisan dari kakek," ujar Salim Baswedan, kepada SCG. Pria 67 tahun ini mengaku sebagai generasi ketiga penerus usaha keluarga. Menjual bibit parfum di Toko Ratu Wangi, di Jalan Panggung.
Negeri Kaya
Salim mengaku sudah kenal dengan aneka parfum sejak kecil, tepatnya sejak dia masih duduk di bangku sekolah SR (Sekolah Rakyat, sekarang setingkat Sekolah Dasar). Kakeknya yang asli dari Arab, kemudian menikah dengan wanita Jawa. Bisnis yang ditekuni menjual beragam parfum dari Belanda dan Perancis. "Lama-kelamaan bertambah, mendatangkan bibit dari Jerman, Amerika, China, India, dan Jepang," urainya kepada Surabaya City Guide, pertengahan bulan lalu.
Di sekitar Panggung, semula hanya ada tak lebih dari tiga toko, termasuk milik kakeknya Salim dan saudara kakeknya. Kini sudah ada 30 –an toko yang bedagang bibit parfum, sepanjang Jalan Panggung hingga Jalan Sasak, dari pagi hingga malam.
Kini semua tahu, tempat di mana untuk membeli bibit parfum di Surabaya, baik partai maupun eceran. Mereka bukan saja berasal dari Surabaya, tetapi juga dari luar kota, bahkan luar pulau. Mulai dalam bentuk botolan hingga drum-druman. "Kalau yang kelas bawah harganya di bawah 1.000 rupiah per mililiter. Kalau yang atas, di atas 1.000 rupiah," jelas pria kelahiran Bangil, yang pindah ke Surabaya sejak masuk Sekolah Rakyat itu.
Berbicara bibit parfum, Salim sedikit mengungkapkan uneg-unegnya. "Saya itu kadang heran, melihat bibit-bibit parfum ini kebanyakan impor dari luar negeri. Padahal negeri kita ini kaya-raya, semua jenis bahan untuk pembuatan bibit parfum ada di negeri ini. Tapi kenapa tidak bisa membuat sendiri bibit parfum," ungkapnya disertai tawa ringan. Menurut Salim, lebih karena orang-orang kita kurang mau berusaha untuk mengelola memanfaatkan setiap kekayaan bangsa yang ada.
"Bukan hanya menjual ke negara lain dengan harga murah, dan membeli lagi dalam bentuk berbeda dengan harga yang mahal!" tambahnya. Menyikapi kenyataan begitu banyak pedagang yang ada, yang menjual barang yang sama, Salim berujar bijak,"Pasrah saja pada rejeki yang dibagikan oleh Allah SWT."
Suasana Jalan Panggung kerap tampak begitu ramai, terutama setelah jam 10.00 hingga 14.00 BBWI. Mungkin di rentang itulah para pedagang bibit parfum menangkup rejeki, walau ada beberapa yang buka hingga malam hari. Setelah jam 14.00 BBWI, suasana keramaian akan berubah, bergeser ke Pasar Pabean, ketika para pedagang ikan mulai bedatangan.
sumber : LINK
Postingan menarik lainnya:
26 Aug, 2012
-
Source: http://kaskusbetarefresh.blogspot.com/2012/08/pusat-bibit-minyak-wangi-di-surabaya.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com