Anak Ingusan itu Jadi Raja Eropa, menjadi JENDRAL di antara para jendral, siapakah dia ?

Di Terbitkan Ardana

Kisah Guardiola: Pivot Emas Temuan Johan Cruyff [1]

Hari masih siang. Matahari cukup terik. Seorang pria paruh baya berjalan ke luar Camp Nou. Ia mendatangi Mini Estadi, stadion kecil tempat latihan akademi La Masia.

Awalnya pria itu hanya duduk santai di tribun. Ia sekadar memantau puluhan bocah di lapangan. Namun, ada satu bocah yang membuat raut mukanya serius. Matanya tak pernah lepas dari bocah 13 tahun itu.

Babak pertama usai. Pria paruh baya itu mendekati lapangan. "Hey kamu, sini!," kata pria itu memanggil pelatih akademi La Masia, Carles Rexach.

"Siapa nama anak yang bermain sisi kanan," tanya pria tersebut.
"Namanya Guardiola tuan. Anak yang bagus," jawab Rexach.

Selama beberapa menit, Rexach mengomentari permainan Guardiola. Namun pria itu tak menghiraukannya. "Coba kamu geser dia ke tengah sebagai pivot," pinta pria tersebut.
Pivot merupakan istilah kuno untuk gelandang jangkar. Posisi ini sulit dimainkan ketika itu. Tak banyak klub Spanyol yang menempatkan pemainnya di posisi tersebut.

Rexach awalnya ragu. Namun ia akhirnya menjalankan perintah seniornya tersebut.
Babak kedua usai. Pria paruh baya itu kembali mendekati Rexach. "Mulai sekarang saya mau lihat anak itu bermain sebagai pivot," tegas pria tersebut.

"Oke tuan Cruyff," jawab Rexach.

Ya, pria paruh baya yang dimaksud adalah Johan Cruyff, pemain sekaligus pelatih legendaris Barcelona. Di sinilah ia menemukan bakat emas Guardiola.



Setelah hari itu, Guardiola kecil yang masuk La Masia pada 1984 menghabiskan enam tahun hidupnya di akademi tersebut. Pada 1990, ia akhirnya menembus tim senior Azulgrana.
Saat itu Barca krisis gelandang. Guillermo Amor yang biasa jadi andalan di lini tengah absen saat Barca bertemu Cadiz CF.

Cruyff pun kemudian memberikan kesempatan kepada Guardiola yang baru berusia 19 tahun untuk melakukan debutnya. Sadar akan kesempatannya, Guardiola main habis-habisan. Ia tampil impresif di tengah dan melindungi pertahanan Barcelona.



Cruyff terkesan dengan debut Guardiola. Pada musim berikutnya, Guardiola muda langsung jadi andalan di tengah dan membantu Barca memenangi La Liga dan European Cup (sekarang Liga Champions).

Majalah terkemuka Italia, Guerin Sportivo, sampai melabelinya sebagai pemain terbaik dunia usia 21 tahun ke bawah. Duet Cruyff dan Guardiola tak berhenti sampai di situ.

Keduanya sukses memenangi La Liga lagi pada musim 1992–93 and 1993–94. Kedatangan Romario membuat Barca semakin kuat, sehingga mereka menembus final Liga Champions 1994. Sayangnya, Barca disikat AC Milan.


Dua musim setelah final itu, Cruyff meninggalkan Barcelona. Lalu, apa yang terjadi dengan Guardiola?



Kisah Guardiola: Jenderal di Antara Para Jenderal [2]




Angin sepoi-sepoi. Barisan pohon palma melambai disertai desiran ombak berdebur kencang. Pep Guardiola asyik berbincang dengan sahabatnya, Manuel Estiarte di pinggir pantai Pescara, Italia.

Dalam perbincangan Juni 2007 itu, Pep pertama kali mengungkapkan bahwa ia telah ditawari pekerjaan oleh Barcelona.

"Wow, Barcelona!" kata Manuel yang kaget mendengar perkataan Pep. Pekerjaan yang ditawarkan adalah Direktur Teknik tim yunior. Estiarte pun kaget mendengar perkataan Pep berikutnya.
"Aku tak tahu. Aku ragu," kata Pep.

"Apa maksudnya kamu tak tahu? Kamu akan kembali ke Barca. Itu adalah impianmu," timpal Estiarte.

Setelah meraih kesuksesan sebagai pemain Barca pada 1990-2001, Pep tak pernah lagi menginjakkan kakinya di Camp Nou. Namun, setahun setelah pensiun (2006), Barca akhirnya memintanya kembali sebagai Direktur Teknik.

Masalahnya, Pep tak mau jadi Direktur Teknik. Yang ada di kepalanya hanyalah jadi pelatih.
Setelah diskusi dengan Manuel itu, Pep lalu bergegas kembali ke Spanyol dan menemui salah satu bos Barca, Txiki Begiristain. Pep pun dengan sopan menolak tawaran Txiki. Ia menegaskan hanya mau jadi pelatih di Barca. Namun, niatnya itu ditanggapi sinis oleh Txiki.

"Pelatih di mana? Tak ada tempat di tim utama Barca, bahkan sebagai asisten Frank Rijkaard," kata Txiki.

"Berikan aku tim Barca B yang ada di Divisi Empat," jawab Pep.

"Apa? Kamu pasti sudah gila. Tidak bisa. Lebih mudah memenangi La Liga bersama Barca, ketimbang membawa Barca B promosi."

Meski ditolak, Pep tetap ngotot. "Biarkan aku pegang kendali di Barca B. Aku tahu apa yang harus dilakukan."

Barca B saat itu tak hebat seperti sekarang. Tujuh tahun lalu tim itu adalah bencana. Jangankan juara, meraih kemenangan saja susah. Txiki juga khawatir dengan 'serangan media' jika memberikan pekerjaan itu ke Pep.

"Kita akan terlihat buruk jika membuang ikon klub seperti Pep ke Divisi Empat. Ini tak masuk akal," kata dia. Setelah sempat lama berpikir, Txiki akhirnya setuju memberikan pekerjaan itu ke Pep.




Dalam kurun waktu singkat, Pep menyulap Barca B menjadi tim yang disegani dan mengantar mereka promosi. Karena kesuksesannya, Pep langsung menjadi kandidat pelatih senior Barca menggantikan Rijkaard. Ia saat itu bersaing dengan Jose Mourinho yang baru dipecat Chelsea.
Jelas, Pep ketika itu tak bisa dibandingkan dengan The Special One. Mourinho sudah sukses bersama Porto dan Chelsea, sementara Pep masih 'anak ingusan'.

Manajemen Barca pun lebih memprioritaskan Mourinho. Mereka bahkan sudah tes wawancara dengan pelatih asal Portugal itu. Sayangnya, sikap Arogan Mourinho saat wawancara membuat bos-bos Barca kesal.

"Saat negosiasi dengan Mourinho, kami juga mendekati Pep, yang sudah melalui setengah musim pekerjaannya sebagai pelatih Barca B. Kami ingin melihat apakah Pep juga tertarik. Penting bagi kami untuk menguji Pep melawan Mourinho," cerita Wakil Presiden Barca, Marc Ingla.

"Tapi, ketika mempertimbangkan Mourinho, kami juga harus memikirkan reputasinya. Mourinho dikenal sebagai pelatih nomor 1 dunia, tapi dia tidak mau mendengarkan siapa pun, termasuk saat wawancara," lanjut Ingla.

Pada akhirnya, bos-bos Barca lebih memilih Pep. Tak seperti Mourinho, ikon tim Barca itu memiliki gaya kalem dan lulus tes wawancara dengan sempurna.

"Pada akhir pertemuan kami dengan Pep, dia sempat bertanya, 'Mengapa Anda tidak mempekerjakan Mourinho? Ini tentu akan lebih mudah bagi Anda?'," ujarnya.

Ingla pun menjawab, 'Ada beberapa kriteria kami yang tidak cocok dengan Mourinho dan salah satunya adalah sikap. Dia benar-benar tidak cocok untuk Barca'," tutur Ingla menyimpulkan.
Pep akhirnya mulai menangani Barca sejak musim 2008/2009. Ia bertahan di klub itu selama empat tahun dan memenangi semua trofi. Total, ada 14 gelar yang ia raih. Ia juga dinobatkan sebagai pelatih terbaik dunia pada 2011.

Kenyang dengan kesuksesan, Pep memutuskan berhenti melatih Barca pada 2012. Ia meninggalkan Camp Nou dengan sejuta kenangan indah.



Setelah menganggur setahun, Pep kini memulai petualangan barunya bersama raksasa Jerman, Bayern Muenchen. Mampukah ia mengulangi kesuksesannya? Kita tunggu saja. (Dari berbagai sumber/Vin)
 

sumber | wowunic.blogspot.com | http://bola.liputan6.com/read/698126/kisah-guardiola-anak-ingusan-itu-jadi-raja-eropa-3-habis?wp.hdln



Kisah Guardiola: Anak Ingusan itu Jadi Raja Eropa [3-Habis]




Tidak mudah menjadi seorang pemimpin. Anda harus siap melawan arus dan mengambil langkah berani melawan oposisi. Satu hal yang pasti, diperlukan keberanian untuk melakukan hal-hal yang tidak berani dilakukan orang lain. Inilah sifat natural yang dimiliki Pep Guardiola.

Sejak kecil, jiwa kepemipinannya sudah kelihatan. Di saat bocah-bocah lain seusianya asyik bermain, Pep malah sibuk berdebat. Ia jadi juru bicara di sekolahnya.

Hebatnya lagi, Pep selalu mengungkapkan argumennya dengan kalem. Dia tak pernah emosional atau marah-marah.

"Pep memiliki otoritas luar biasa. Dia tidak perlu meninggikan suaranya atau memukul meja, pemain sudah percaya padanya," kata bek Barcelona, Gerard Pique.

Semua kisah itu hanyalah rekam jejak masa lalu Josep 'Pep' Guardiola i Sala. Masa kini Pep memang tak mungkin bisa dipisahkan begitu saja dari cerita masa lalunya. 

Usai menemukan posisi ideal sebagai pivot di La Masia, Pep menembus tim senior Azulgrana pada 1990. Saat itu, Barca memiliki pemain-pemain dengan jiwa pemimpin seperti Andoni Zubizarreta, Txiki Begiristain, Ronald Koeman, Hristo Stoichkov, dan Michael Laudrup.



Namun, entah bagaimana, Pep terlihat menonjol di antara senior-seniornya tersebut. Padahal, saat itu usianya masih 19 tahun. Gaya selebrasi kemenangannya dengan mencium bendera Catalan membuat Pep spesial di mata fans Barca. Tak pernah ada yang meragukan komitmennya.

Dua tahun setelah debut di Barca, Pep langsung terpilih menjadi kapten Tim Nasional Spanyol yang terjun di Olimpiade 1992. Ia sukses mengantar Tim Matador meraih medali emas.

Tak hanya itu, ia juga sukses meraih Bravo Award yang merupakan penghargaan bagi pemain muda terbaik di dunia. Penghargaan ini diberikan oleh majalah terkemuka Italia, Guerin Sportivo kepada pemain di bawah usia 21 tahun.

Karier Pep terus melejit. Ia mengantar Barca meraih begitu banyak gelar. Total, selama mengabdi 11 tahun sebagai pemain, Pep sukses menyumbangkan 16 gelar.

Pada 11 April 2001, Pep mengutarakan niatnya meninggalkan Camp Nou. Ketika itu, banyak yang tak rela ia pergi. Maklum saja, Pep merupakan simbol kejayaan Barca.




"Sebuah perjalanan panjang. Saya bahagia dan bangga dengan cara orang-orang memperlakukan saya. Saya tidak bisa meminta lebih banyak. Saya telah bertahun-tahun bermain di level tertinggi," kata Pep yang menangis saat konferensi pers terakhirnya di Camp Nou waktu itu.

Kisah Pep pun melegenda. Ia jadi idola bagi pemain-pemain Barca saat ini seperti Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Cesc Fabregas.

Usai keluar dari Barca, Pep melanjutkan kariernya sebagai pemain di Brescia (2001-2002), AS Roma (2002-2003), Al-Ahli (2003-2005), dan Dorados (2005-2006), sebelum akhirnya pensiun.



UNIC 20 Sep, 2013


-
Source: http://wowunic.blogspot.com/2013/09/anak-ingusan-itu-jadi-raja-eropa.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Diterbitkan Oleh : Lebihunik.com

ARTIKEL TERKAIT