Mantan Pejuang Hidup Tak Layak di Hutan - Banyumas, Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68 menyisakan kisah pilu bagi seorang mantan pejuang asal Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Seorang pejuang berusia 102 tahun itu kini hidup tak layak di sebuah gubug berukuran 3x4 meter persegi di kaki bukit tengah hutan.
Gubug yang disusun dari papan tripleks sederhana di bawah Gunung Putri, Desa Sawangan, Kecamatan Ajibarang, itu tidak tampak kokoh ketika angin bertiup kencang. Sesekali sebagian dinding ikut bergoyang bersama embusan angin yang menerpa sejumlah pohon di sekitarnya.
Di gubug itulah, Tamireja tinggal bersama istri, Sariwen (70) dan seorang anaknya. Rumah yang dibangun dari bantuan dermawan itu berada jauh dari pemukiman warga. Sebelum menempati rumah tersebut, Tamireja sempat menjalani hidup di atas puncak Gunung Putri selama tujuh tahun.
Meski kini sudah tinggal di bawah bukit, namun Tamireja masih tetap pergi ke puncak gunung dengan berjalan kaki untuk berkebun. Pada usianya yang lebih dari satu abad itu, dia masih terlihat kuat berjalan kaki dan mencangkul untuk menggarap lahan singkong. Jarak dari rumahnya ke atas bukit memakan waktu sekira tiga jam dengan berjalan kaki.
Selain memiliki fisik yang kuat, Tamireja juga fasih berbahasa Jepang, Indonesia, dan Jawa. Tidak hanya itu, dia juga masih hafal menyanyikan lagu berbahasa Jepang. Meski di usia senja, semangat Tamireja tetap berkobar. Jika ada yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, Tamireja langsung berdiri tegap dan ikut bersemangat menyanyikan lagu kebangsaan tersebut.
Tamireja mengaku menjadi pejuang mengusir penjajah Belanda pada saat sebelum Indonesia merdeka. Pada zaman penjajahan Jepang, dia juga ikut bertaruh nyawa untuk merebut kemerdekaan.
Kini, perjuangannya itu seolah dilupakan dan sia-sia tanpa mendapat penghargaan dari negara. Pada sisa-sisa masa tuanya, dia masih harus berjuang sekadar untuk memenuhi makan dan mempertahankan hidup.
Harapan untuk menerima penghargaan hanya menjadi angan setiap kali mengingat perjuangan di masa lampau.
"Saya ingin bisa hidup yang layak seperti warga lainnya dan bisa bertetangga dengan warga, tidak di hutan seperti ini," lirih Tamireja, Kamis (15/8/2013).
Pada zaman penjajahan, Tamireja bekerja sebagai kurir pengantar surat, senjata, dan peluru. Pekerjaan inilah yang dia manfaatkan untuk memasukkan pejuang Indonesia ke dalam gudang senjata untuk mengambil senjata penjajah.
"Dulu saya mengantar surat rahasia untuk para pejuang antardaerah. Surat itu katanya berisi tentang koordinasi perlawanan terhadap Jepang. Selain itu, saya juga mengantar peluru dan senjata kepada tentara kita," tambahnya.
Sementara itu, Sariwen mengaku iba atas nasib suaminya karena tidak dihargai pemerintah. Dia berharap, ada perhatian khusus bagi pejuang veteran seperti suaminya agar bisa hidup layak, setidaknya bisa tinggal di dekat pemukiman warga lainnya.
"Saya hanya kasiahn sama suami yang sampai dengan sekarang masih hidup di tengah hutan," ujar Sariwen.