Bagaimana nasib kita di bidang energi tanpa minyak bumi itu?Pernahkah Anda membayangkan, apa yang akan terjadi jika minyak bumi sudah tak ada lagi di perut Bumi Pertiwi? Padahal, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Indonesia hingga saat ini masih sangat mendominasi, yaitu sebesar 42,99% dari konsumsi energi total. Dan, pernahkah Anda membayangkan bagaimana kondisi APBN kita jika hal itu benar-benar terjadi, karena kita harus mengimpor 100% BBM? Dua pertanyaan besar ini terus menggaung di berbagai seminar dan Gedung DPR atau statement para pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di berbagai acara. Dua kekhawatiran ini seakan menjadi momok tak terhindarkan dalam hitungan sepuluh atau limabelas tahun ke depan. "Data menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu 10 tahun lagi, berdasar cadangan terbukti yang ada saat ini," ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Kardaya Warnika, saat membuka National Energy Efficiency Conference (NEEC) di Jakarta, 11 Juni lalu. Di sisi lain, menurut hitungan Kardaya, penggunaan energi baru dan terbarukan baru berkisar 4% dari total konsumsi energi nasional. Situasi ini bukan saja mengkhawatirkan penipisan sumber daya energi, tetapi beban anggaran negara untuk subsidi dan keamanan terhadap perubahan iklim juga amat riskan. Itu kenapa pemerintah beralasan perlu melakukan sebuah gerakan riil untuk pengehamatan penggunaan energi, mulai dari BBM, Listrik, hingga air. Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM), Rudi Rubiandini, memastikan penghematan energi akan menjadi prioritas dalam jangka pendek pemerintah, yakni sampai 2014. "Kami harapkan program penghematan khususnya konversi BBM ke BBG terlaksana dalam dua tahun ini," katanya di Jakarta. Sejak awal Mei lalu, pemerintah sudah mencanangkan sejumlah program penghematan energi, di antaranya pelarangan kendaraan dinas dan industri khususnya tambang dan kebun menggunakan bahan bakar minyak (BBM) subsidi, konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), dan penghematan listrik dan air di instansi pemerintah, badan usaha milik nasional (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD). Bahkan, per 1 Juni lalu, kendaraan dinas pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan BUMD di wilayah Jabodetabek sudah dilarang menggunakan premium bersubsidi. Pelarangan kendaraan dinas memakai premium subsidi diperluas di Jawa-Bali per 1 Agustus 2012. Pemerintah juga akan melarang kendaraan perkebunan dan pertambangan menggunakan solar bersubsidi mulai 1 September 2012. Menurut Rudi, penghematan harus dilakukan setiap orang dengan mengubah perilakunya dalam mengelola dan menggunakan energi dan air. Penghematan dimulai dari kantor pemerintahan, seperti menaikkan suhu AC dari 18 ke 24 hingga 25 derajat Celcius. Kebijakan pemerintah terkait penggunaan pendingin udara ini masih sebatas imbauan kepada instansi-instansinya. Tak tertuang ke dalam aturan yang berkekuatan hukum, seperti pada larangan penggunaan BBM pada mobil-mobil dinas. Masih Sebatas Retorika Langkah riil lain yang tengah digodok pemerintah untuk lima tahun ke depan adalah konversi BBM ke BBG (bahan bakar gas). Wakil menteri ESDM berharap, ini salah satu upaya agar Indonesia tidak menjadi pengimpor energi (net importer energy). Saat ini, beban migas dalam bauran energi mencapai 65 persen, sementara minyak hanya 0,3 persen cadangan dunia dan gas hanya 1,2 persen. "Ini sudah lampu kuning," katanya. Maka itu, menurut Rudi, program dalam jangka menengah atau lima tahun ke depan adalah berupa pemanfaatan gas bumi secara besar-besaran. Gas bumi yang tersedia di Kalimantan, Natuna, dan laut dalam akan diangkut ke lokasi yang membutuhkan yakni Jawa dan Sumatera. Program tersebut tentu memerlukan infrastruktur kapal pengangkut gas alam cair (LNG), alat pemampat gas menjadi gas alam terkompresi (CNG) dan LNG, dan terminal penerima LNG dan regasifikasi. Di tambah lagi, menurut dia, pembangunan pipa transmisi di Jawa dan Sumatera, sehingga dalam jangka menengah, gas akan secara signifikan menggantikan BBM. Sementara itu, program jangka panjang di atas lima tahun adalah pemanfaatan energi panas bumi, batubara, matahari, dan biofuel secara masif. Menurut Kardaya, sudah waktunya Indonesia mulai melakukan penghematan energi saat ini juga. Sumber energi kita masih sangat tergantung kepada bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbaharui. Sementara konsumsi gas dan batu bara Indonesia masih tergolong rendah, yakni masing-masing 18,48% dan 34,47%. "Selebihnya, kita masih bergantung pada penggunaan minyak," ujarnya. Akankah gerakan hemat energi yang resmi disampaikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir Mei lalu ini akan berjalan efektif? Director of Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto meragukan gerakan penghematan energi yang dicanangkan oleh SBY itu. "Pidato ini lebih hanya merupakan retorika saja. Saya meragukan lima langkah yang dikemukakan dalam pidato Presiden akan dijalankan sungguh-sungguh," ujar Pri di Jakarta. Sebelum mengumumkan kebijakan tersebut, seharusnya pemerintah mengevaluasidan mengukur program kebijakan hemat energi yang sebelumnya juga pernah dipaparkan oleh mereka. "Dari pengalaman sebelumnya hal itu tidak terealisasi," kata dia. Salah satunya adalah program pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi kendaraan di SPBU yang menjadi langkah pertama dalam kebijakan hemat energi yang disampaikan SBY, sudah diwacanakan oleh pemerintah sejak lama. Tetapi hingga saat ini masih belum jelas konsep dan mekanismenya. Pengamat Perminyakan Kurtubi berpendapat, pemerintah tidak bisa begitu saja membatasi kuota BBM untuk setiap daerah dengan alasan penghematan . Menurutnya, yang dibutuhkan pemerintah adalah mengembangkan energi yang murah dan pasokan yang besar. Untuk sektor transportasi, salah satunya adalah BBG atau CNG (Compressed Natural Gas). "Kalau BBG atau CNG dikembangkan secara serius dari dulu, yang namanya energi Indonesia tidak akan kekurangan," ujar Kurtubi dalam diskusi "Kisruh BBM, Hemat Energi, Nasib NKRI" di Gedung DPD RI Jakarta, awal Juni lalu . (AKS)
|