Ketika mendengar kata Madura, hal yang mungkin langsung terbayang di benak kepala setiap orang Indonesia adalah "Carok dan Clurit". Carok dan Clurit (dalam bahasa Madura are') adalah dua hal yang selalu melekat pada orang Madura. Pada umumnya, orang luar Madura mengartikan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang Madura sebagai Carok. Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura yang terkesan negatif.
Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan orang Madura keras perilakunya, kaku, ekspresif, temperamental, pendendam, dan suka melakukan tindak kekerasaa. Stereotip semacam ini sering kali mendapatkan pembenaran, ketika terjadi kasus-kasus kekerasan dimana pelakunya adalah orang Madura.
Sebenarnya, orang Madura memiliki karakter yang terbuka terhadap perubahan. Maka tidak heran jika majalah Tempo berdasarkan riset pada tahun 1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling sukses di negara ini. Hampir di tiap daerah, bisa ditemukan "Sate Madura" yang seolah menjadi trade-mark orang Madura (Tempo Interaktif, 16-8-2006).
Hal itu membuktikan bahwa semangat orang Madura sangat kuat untuk melakukan perantauan kemana pun. Di tanah rantau pun, orang Madura masih tetap dikenal sebagai sosok yang rajin, ulet dan berkinerja tinggi.
Karakter lain yang juga melekat dengan orang Madura adalah perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan jujur kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa dirasakan ketika berkumpul dengan orang Madura. Pribadi yang keras dan tegas adalah bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki oleh orang Madura.
A. Pengertian Carok
Ada banyak teori tentang konflik kekerasan orang Madura yang disebut dengan Carok ini. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut sama-sama menyatakan bahwa Carok adalah konflik kekerasan orang Madura yang timbul dan disebabkan karena persoalan harga diri. Teori-teori tersebut banyak dikemukakan oleh orang-orang luar Madura berdasarkan hasil pengamatan-pengamatan, seperti yang dilakukan oleh Touwen – Bouwsma (1985), De Jonge (1993), dan Smith (1997). Sementara, sebagian kecil di antaranya dinyatakan oleh orang Madura sendiri dengan metode yang lebih akurat. yaitu dengan melakukan serangkaian penelitian-penelitian langsung seperti yang dilakukan oleh A. Latief Wiyata (1996).
Dalam menggambarkan konflik kekerasan orang Madura ini, Touwen – Bouwsma menggunakan teori ekologi kultural (cultural ecology theory), dimana faktor lingkungan ditemukan sebagai penyebab konflik. Touwen – Bouwsma berasumsi bahwa Carok berkaitan erat dengan dua peristiwa. yaitu pemilihan kepala desa dan remo .
De Jonge mengemukakan bahwa Carok tidak dapat dilepaskan dari sejarah politik Madura ketika pemerintahan kolonial Belanda berkuasa, De Jonge mengemukakan pendapat ini berlandaskan pada teori Politik atau Ekonomi Politik (political or political economi theory).
Sedangkan Smith memahami Carok dengan teori Diskriptif historis atau Particularis (historical descriptive or particularist theory). Dimana Carok diartikan sebagai tindakan main hakim sendiri yang dipengaruhi oleh pola dan struktur pemukiman orang Madura yang terpisah satu sama lain (struktur Taneyan Lanjhang dan Kampong Mejhi ). Pendapat ini didasarkan pada arsip-arsip zaman kolonial Belanda yang dikutip dari De Jonge dan Touwen – Bouwsma. (Wiyata ; 2004 : 18-21).
Sementara itu, Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh A. Latief Wiyata mengemukakan pendapat yang merupakan gabungan dari teori-teori yang sudah ada. A. Latief Wiyata memformulasikan Carok sebagai institusionalisasi kekerasan orang Madura, yang berupa upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam, pada umumnya adalah clurit. Yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (Wiyata ; 2004 : 184).
Oleh orang Madura, Carok dianggap semata-mata sebagai urusan laki-laki, dan bukan urusan perempuan. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang berbunyi "oreng lake' mate acarok, oreng bine' mate arembi'" (laki-laki mati karena carok, sedangkan perempuan mati karena melahirkan).
Sedangkan orang-orang Madura tradisional sendiri mengartikan Carok dengan kalimat "mon e anca alorok" (kalau diganggu menyerang), yang artinya kalau harga dirinya diganggu atau dilecehkan oleh orang lain maka dia akan menyerang orang tersebut.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan ditambah dengan kesimpulan hasil wawancara yang kami lakukan dengan orang-orang Madura tradisional, dapat disimpulkan bahwa Carok adalah duel yang dilakukan seseorang dengan seseorang yang lain atau suatu kelompok dengan kelompok yang lain, yang timbul karena salah seorang dan atau salah satu kelompok ada yang merasa harga dirinya telah dilecehkan oleh yang lain
B. Faktor-faktor Penyebab Carok
Sesuai dengan pengertian Carok di atas, faktor utama penyebab terjadinya Carok adalah terjadinya pelecehan terhadap harga diri seseorang atau suatu kelompok. yang termasuk dalam kategori pelecehan harga diri menurut orang Madura adalah:
1. Mengganggu istri atau anak perempuan orang lain
2. Perlakuan semena-mena dan tidak adil dalam pembagian harta warisan
3. Hal-hal lain yang walaupun kadang hanya sepele tapi telah membuat seseorang atau suatu kelompok tersinggung dan merasa harga dirinya dilecehkan.
4. Faktor penyebab yang lain adalah balas dendam akibat peristiwa Carok lain yang terjadi sebelumnya, dan hal ini biasanya dilakukan oleh pihak keluarga yang kalah.
Seperti telah dikemukakan di atas, faktor utama penyebab Carok adalah mengganggu istri atau anak perempuan orang lain. Berkaitan dengan hal itu, seorang Penyair dan Budayawan Madura D. Zawawi Imron mengemukakan ungkapan dalam tulisannya yang berbunyi "Saya kimpoi dan dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang berani mengganggu istri saya, berarti telah menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya" (Imron ; 1986 : 11)
Oleh karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami, karena bagi orang Madura istri adalah "bhantalla pate" (landasan kematian). Dengan kata lain, tindakan mengganggu istri orang disebut juga dengan istilah "aghaja' nyabah". Yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.
Dalam sistem perkimpoian orang Madura, seorang laki-laki Madura ketika akan kimpoi tidak perlu memikirkan rumah untuk tempat tinggal keluarganya nanti, karena biasanya rumah tersebut sudah disiapkan oleh mertuanya. Hal ini menyebabkan pertukaran yang tidak seimbang, sehingga sebagai konsekuensinya seorang suami harus betul-betul dapat menjaga istrinya dengan baik, terutama yang menyangkut masalah kehormatannya.
Tindakan mengganggu istri merupakan pelecehan harga diri yang paling menyakitkan bagi laki-laki Madura. Tindakan tersebut selain dianggap telah melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap telah merusak tatanan sosial (arosak atoran). Oleh karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak dapat diampuni dan harus dibunuh, atau dengan kata lain carok.
C. Faktor Pemicu Carok
Konflik kekerasan orang Madura dipicu oleh letak dan kondisi geografis, sejarah dan sosial budaya Madura. Kondisi alam Madura yang pada umumnya panas dan tandus membuat orang-orang Madura mayoritas bertempramen tinggi dan mudah tersinggung.
Pola pemukiman Kampong Mejhi dan struktur pemukiman Taneyan Lanjhang yang dipakai orang-orang Madura membuat kontrol sosial menjadi longgar. Sebaliknya, solidaritas antar kelompok semakin kuat sehingga Carok menjadi sangat mungkin bagitu mudah terjadi.
Yang dimaksud dengan pemukiman Kampong Mejhi adalah kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa dimana pemukiman yang satu dengan yang lain saling terisolasi. Jarak antara satu pemukiman dengan pemukiman yang lain sekitar 1 sampai 2 km. Keterisolasian kelompok pemukiman ini menjadi semakin nyata oleh adanya pagar yang terbuat dari beberapa rumpun bambu yang sengaja ditanam sekelilingnya. Antara satu kelompok pemukiman yang satu dengan yang lain hanya dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak.
Setiap pemukiman Kampong Mejhi biasanya terdiri dari 4 sampai 8 rumah yang dibangun dalam bentuk memanjang, membujur dari barat ke timur dan selalu menghadap ke selatan. Jika jumlah rumah lebih dari 8, karena sempitnya lahan maka deretan rumah biasanya dibangun dalam bentuk melingkar.
SUMBER:
Imron, D. Z, 1986. Menggusur Carok , Surabaya: Harian Memorandum.
Wiryoprawiro, Z. M, 1986. Arsitektur Tradisional Madura Sumenep dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif, Surabaya: Laboratorium Arsitektur Tradisional, FTSP-ITS.
Wiyata, A. L, 2006. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.
Tempo Interaktif, 16-8-2006.
Postingan menarik lainnya:
19 Oct, 2012
-
Source: http://kaskusbetarefresh.blogspot.com/2012/10/tentang-carok-madura.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com