Quote:
|
Quote:
Pesepakbola tak berbeda jauh dengan orator ulung: tiap gol yang dicetak, tiap peluang yang ditepis, tiap tekel yang dilakukan, adalah pembakar adrenalin, pemicu pemberontakan terhadap kekuasaan yang korup. Dan para suporter adalah martir revolusi …. Kekuasaan, barangkali adalah salah satu diktum perusak paling kronis dalam peradaban manusia. "Kekuasaan", mengutip Lord John Dalberg-Acton, salah seorang sejarawan Inggris, "cenderung merusak tatanan, dan kekuasaan absolut pasti merusak". Dalam sepakbola Indonesia, bukan sekali dua kekuasaan berbuat rusak. Seperti "tawuran" yang terjadi belakangan ini antara KPSI melawan PSSI contohnya. "Tawuran" yang sudah dimulai sejak berbulan-bulan lamanya kini kian memanas karena ada isu tim nasional versi KPSI dengan versi PSSI. Sikap "ganjil" kedua pihak yang seyogyanya diharapkan jadi panutan para pecinta sepakbola di negeri ini lalu membuat banyak orang terheran-heran. Tetapi ada juga yang setuju dengan isu duel absurd tersebut. Beberapa orang menyebutnya: "Demi patriotisme!". Lainnya lagi: "Biar adil!" Benarkah? Saya meragukannya. Meminjam gagasan Aristoteles dan Thomas Aquinas, penyalahgunaan kekuasaan kerap terjadi manakala kekuasaan lebih dilihat sebagai sebuah finalitas (tujuan) dari pada sebagai instrumen (sarana). Dan dengan segala hormat, KPSI - PSSI tengah melakukan penyelewengan kekuasaan tersebut. Sikap "ideologis" yang dilatarbelakangi motif untuk berkuasa memang hanya akan menghasilkan chaos yang ruwet. Lebih jauh: dendam berkepanjangan. Semua itu tak hadir melalui represi, tetapi melalui representasi simbol-simbol, atau, meminjam istilah Pierre Bordieu: "Kekuasaan Simbolik". "Kekuasaan simbolik", menurut Bourdieu adalah modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana yang bertujuan untuk mereproduksi kekuasaan. Lihat bagaimana pertarungan antara KPSI dengan PSSI itu: mereka membenturkan statement (bahasa) di berbagai media sebagai bentuk simbolisasi kekuasaan, seolah seperti tengah berbicara kepada kita: "Gue yang punya kuasa, suka-suka gue dong!" Praktik "kekuasaan simbolik" tersebut--dalam konteks sepakbola Indonesia -- akan terus direproduksi masif jika para pesepakbola, yang menjadi pionir, tetap melakoni peran sebagai tubuh yang tak otonom, yang patuh, diam, berserah .... Bicara tentang kekuasaan atas tubuh, kita harus membawa nama Michel Foucault. Dalam The History of Sexuality (1978) Foucault memperlihatkan bahwa sejak abad ke-19, proses pelatihan dan regulasi tubuh manusia sudah dilakukan mulai dari lokasi institusional spesifik yang luas seperti di pabrik, penjara atau sekolah. Tujuannya adalah untuk membentuk tubuh yang berguna dan jinak, produktif dan patuh. Hal tersebut lazim jika kita meniliknya melalui kacamata makrofisika kekuasaan. Oleh karena itu, Foucault kemudian menggagas paradigma alternatif tentang "kuasa atas tubuh" dari aspek mikrofisika kekuasaan. Kekuasaan adalah sarana yang diperuntukkan bagi sesuatu yang positif dan produktif. Dan pelaksanaan atasnya demi tujuan itu mengandaikan pembangunan sebuah jejaring dan kolektivitas. Inilah ideal pelaksanaan kekuasaan oleh mereka yang memangku jabatan dan tugas kepemimpinan tertentu. Dengan kata lain, Foucault tetap menegaskan pentingnya "kuasa akan tubuh" sendiri. Maka karenanya, para pesepakbola negeri ini sebelumnya harus mampu memahami seberapa pentingnya tubuhnya sebagai pesepakbola. "Kurang baiklah, kita semua teman. Saya pribadi menolak. Kalau saya ditawarkan suruh bermain, berat sekali. Harusnya mereka KPSI dan PSSI bisa bicara baik-baik. Pemain sama-sama membela negara. Kalau tujuannya mau seleksi atau mencari pemain terbaik, tidak seperti itu caranya." Kutipan tersebut milik Ferdinand Sinaga. Saya percaya, setiap pesepakbola negeri ini bisa bersikap seperti apa yang dikatakannya: berkuasa atas tubuh (diri) sendiri, bisa merdeka dalam menentukan sikap, dan ogah jadi domba yang diadu atas kepentingan politis berkedok "tanah air". |
Quote:
Cuma minta:cendolbig yang uda iso yang belum iso jangan lupa kasih:rate5 |
Postingan menarik lainnya:
05 Oct, 2012
-
Source: http://kaskusbetarefresh.blogspot.com/2012/10/pesepakbola-indonesia-sebagai-tubuh.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com