Berdasar UU Ketenagakerjaan, untuk pekerja dengan sistem perjanjian kerja waktu tidak tertentu, jika sudah bekerja melewati masa tiga tahun, pekerja harusnya sudah diangkat sebagai karyawan tetap.
Dengan status pegawai kontrak itu, Marten dan lebih dari 3.000 karyawan PT SPM yang dipekerjakan untuk PT Telekomunikasi (Telkom) Divisi Regional (Divre) 2 dipecat secara sepihak. Marten kemudian bekerja di PT Graha Sarana Duta, tetapi tetap menjadi satpam yang ditugaskan di PT Telkom.
Pada 2012, baru terpikir oleh pria kelahiran Soe, Nusa Tenggara Timur, itu untuk memperjuangkan hak pesangonnya dari PT SPM. "Tapi saya kan harus mempelajari dulu, jangan sampai perjuangan saya sia-sia," lanjutnya.
Pasalnya, kata dia, setelah mempelajari banyak kasus serupa bahkan hingga yang ditangani Mahkamah Agung (MA), pihak buruh selalu kalah.
Lagi pula, berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, masa kedaluwarsa tuntutan pembayaran upah pekerja atau buruh maksimal dua tahun jika terkena PHK. Marten tentu tidak ingin mengalami kekalahan yang sama dengan buruh-buruh lainnya. "Jadi, ketentuan Pasal 96 itu harus dibatalkan dulu. Karena ketentuan itu yang membuat gugatan para buruh ditolak di PHI (pengadilan hubungan industrial),"
Maka, bermodal nekat dan ilmu yang diperolehnya saat kuliah, lelaki kelahiran 1974 itu mengajukan judicial review (JR) ke MK agar para hakim membatalkan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Dengan didukung buku-buku hukum yang tidak banyak yang dia simpan di rumahnya di Jalan Selatan 8, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, Marten menyusun gugatannya.
Dari rumah kontrakan berukuran sekitar 7 x 4 meter persegi itu dia susun strategi perjuangannya. Dari rumah itulah dia mendaftarkan gugatannya pada September 2012 lalu.
Lama waktu berlalu, tidak juga ada kabar soal gugatannya. "Saya sempat pesimistis. Di sisi lain, reaksi teman-teman juga beragam. Ada yang mendukung, tapi tidak sedikit yang pesimistis bahkan mencibir. Ya, apalah saya ini. Seorang mahasiswa yang bekerja sebagai satpam, berjuang sendiri tanpa didampingi advokat," katanya.
Marten memang tidak didampingi advokat. Ia mengaku hanya bermodal membaca buku dan pengalamannya beberapa kali mengadvokasi buruh. Ia sempat berkonsultasi dengan beberapa dosennya.
Dalam persidangan, Marten menghadirkan Mansyur Effendi dan Margarito Kamis sebagai ahli. Ia mengungkapkan, Mansyur berpendapat UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945. "Kalau mau adil dan pasti, selayaknya enam tahun baru kedaluwarsa," ungkap Marten menirukan keterangan Mansyur. Sedangkan Margarito berpendapat tidak perlu ada masa kedaluwarsa untuk pembayaran upah buruh yang di-PHK.
Marten mengaku tidak menyangka permohonannya akan dikabulkan sepenuhnya. "Saya berpikir, paling (banyak) dikabulkan sebagian. Tapi ternyata seperti mukjizat saja, hakim mengabulkan semua," tutur mahasiswa yang sedang menyusun skripsi untuk kelulusannya itu.
Kini, dengan bermodal putusan MK itu, dia ingin melanjutkan perjuangannya bersama 66 buruh lain di PHI Jakarta Pusat. "Agendanya penyerahan bukti tambahan dari tergugat dan penggugat. Putusan MK ini ingin saya jadikan bukti tambahan," jelas Marten.
Dia berharap, kemenangannya di MK bisa berbuah lebih manis lagi, yaitu kemenangannya di PHI melawan PT SPM yang ternyata sekarang mempekerjakannya juga. "Ya memang melawan perusahaan sendiri. Tapi saya harap dipisahkan, hukum ya hukum, perusahaan ya perusahaan," ujarnya. Sebagaimana ia percaya hakim-hakim di MK telah bertindak dengan benar dan adil, Marten percaya, hakim PHI pun akan memberi putusan yang benar dan adil baginya dan koleganya. "Semoga Oktober sudah diputuskan," harapnya.
sumber | wowunic.blogspot.com | http://suaramasyarakat.net/dari-rumah-kontrakan-satpam-martin-perjuangkan-korban-phk/
kabar silla 23 Sep, 2013
-
Source: http://wowunic.blogspot.com/2013/09/ini-dia-gan-satpam-yang-berhasil.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com