Hedra, Uskup Agung Aswan di Mesir, memberikan pernyataan yang mengejutkan bahwa para pendukung Muhammad Mursi sama sekali tidak mengganggu gereja dan umat Kristen di Mesir selama tragedi pembantaian pekan ini berlangsung.
Seiring dengan korban yang terus berjatuhan, beredar berita serta foto yang menyatakan bahwa pendukung Mursi membakar gereja di Mesir—dalam hal ini Gereja Mar Girgis di desa al-Marinab.
Berita itu membuat orang-orang Koptik menggelar protes besar-besaran di luar gedung televisi pemerintah di Kairo untuk memprotes diskriminasi agama di negara ini.
"Tidak benar bahwa umat Islam di desa menyerang Kristen selama pembangunan gereja, atau bahwa mereka mencoba untuk menghancurkannya atau menurunkan salib dari kubahnya," kata biarawan itu dalam sebuah wawancara dengan saluran Karma Koptik.
Sebelumnya, Uskup Koptik di AlMenya juga menyatakan kecurigaan pelakunya adalah militer Mesir sendiri.
Media-media lokal Mesir ramai memberitakan hal pembakaran gereja oleh pendukung Mursi ini, termasuk di negara-negara lain. Salah satunya Indonesia. (fimadani)
Uskup Makarius: Aparat Keamanan Dibalik Perusakan dan Pembakaran Gereja Mesir
Selama demonstrasi, pendukung Mursi juga turut menjaga gereja |
KAIRO - Tuduhan Menteri dalam negeri terhadap pendukung pro Mursi yang melakukan aksi pembakaran dan perusakan gereja, dibantah langsung oleh pernyataan Baba Koptik tinggi di provinsi Al Menya, Mesir. Dalam percakapan melalui sambungan telepon dengan stasiun televisi NEWS, Uskup Makarius, menyatakan kecurigaannya tentang aksi perusakan beberapa gereja di di propinsi Al Menya.
Beberapa kecurigaan diantaranya, waktu perusakan yang dimulai secara bersamaan dengan aksi pembubaran paksa demonstran di Medan Rab'ah dan Nahdhah pada Rabu pagi, sehingga sudah dapat dipastikan aksi perusakan beberapa gereja direncanakan secara mendetail dan dilaksanakan bersamaaan dengan pembubaran paksa para demonstran.
Selain itu, tidak ada pihak aparat keamanan dan militer yang mengamankan lokasi ketika terjadi perusakan. Pihak gereja telah menghubungi kepolisian untuk segera mengamankan, tapi ditolak dan tidak bersedia datang memenuhi permintaan warga sipil.
Beberapa hari setelah kejadian, pihak gereja mengajukan protes kepada Depdagri dan perdana menteri. Pihak-pihak tersebut memohon maaf, dan berjanji akan memperkuat pengamanan, namun hingga saat ini janji tersebut tidak ada kenyataannya.
Ada hal lain yang menambah kecurigaan sang uskup, yaitu mendapati adanya kesamaan cara, metode dan alat perusak yang digunakan dalam setiap gereja. Padahal letak gereja-gereja tersebut berjauhan dan kejadian berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan.
Keganjilan-keganjilan ini memperkuat dugaan adanya upaya yang sengaja dilakukan aparat keamanan dan militer yang bertujuan menyudutkan pendukung Mursi, sehingga tepatlah kalau mereka dicap sebagai teroris dan layak dibantai.
Dipilihnya propinsi Almenya, karena memang di sana sering terjadi kasus SARA yang kadang menjadi penyebab jatuhnya banyak korban jiwa. (Zhd/eramuslim)