Orang jawa hilang jawanya (wong jawa ilang jawane)

Di Terbitkan Ardana

Quote:


Pernyataan SBY yang mengatakan bahwa keberadaan Daerah Istimewa Yogaykarta adalah sebuah monarki dan menggangu jalannya demokrasi adalah merupakan suatu realisasi dari nubuat Sabdapalon bahwa pada suatu saat orang Jawa akan hilang Jawanya, ini dimulai dengan meletusnya Gunung Merapi.
Orang Jawa hilang Jawanya bisa diartikan orang Jawa hilang sifat-sifat orang Jawa atau hilang tata cara kebudayaan Jawanya, atau orang Jawa tidak mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam tata cara budaya Jawa. Kebudayaan itu sendiri merupakan kata yang jangkauannya sangat luas, bukan sekedar hanya Kesenian (pada umumnya masyarakat mengartikan Kebudayaan dalam ruang dipersempit hanya sebatas Kesenian). Kebudayaan meliputi cipta, rasa, karsa. Kesenian berfokus hanya pada rasa, kebudayaan adalah totalitas manusia dalam cara menghadapi kehidupan ini dengan segenap cipta, rasa dan karsanya.
Seperti apa orang Jawa pada masa yang lalu secara totalitas menghadapi kehidupan ini? Menurut pengertian saya, totalitas orang Jawa menghadapi kehidupan ini bersumber pada keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan antara "jagad gede" dan "jagad cilik" atau "dunia besar" dan "dunia kecil". "Jagad gede" diartikan suatu kesimbangan hubungan antara manusia dengan dunia diluar dirinya: manusia lainnya, bumi, maupun alam semesta, dan Tuhannya. Sedangkan "jagat cilik" adalah keseimbangan dengan sesuatu yang bergolak dalam diri manusia itu sendiri: antara baik dan buruk, antara roh dan jasmani, antara alam bathin dan alam lahir, antara yang gaib dan yang nyata.
Konsep keseimbangan dan harmoni ini dengan cipta, rasa dan karsa dituangkan dalam bentuk kebudayaan yang sepenuhnya mengatur agar keseimbangan dan harmoni ini tetap terjaga dalam masyarakat Jawa. Umumnya dalam bentuk simbol-simbol dalam berbagai peristiwa budaya. Pada realitasnya, kebudayaan Jawa penuh dengan simbol-simbol yang didalamnya terkandung etika (pilihan baik dan buruk) didalamnya. Untuk bisa mengerti etika Jawa, memerlukan suatu keahlian mengartikan simbol-simbol tertentu dalam budaya Jawa. Tapi tujuan akhir dari etika Jawa adalah sangat jelas tercermin dalam kata-kata "mamayu hayuning bawana" atau melestarikan kesejahteraan dunia (alam semesta).

Jadi "wong Jawa ilang Jawane" juga bisa diartikan kehilangan kemampuan orang Jawa menterjemahkan simbol-simbol dalam tata cara budaya Jawa. Jadi masyarakat hanya melihat segala sesuatunya dari sisi luarnya atau sisi lahirnya saja, kurang mampu mengasah bahasa bathinnya, jadi tidak mampu menterjemahkan simbol-simbol yang muncul kepermukaan sebagai terjemahan dari bahasa etika agar bisa terjadi suatu keseimbangan dan harmoni baik dalam masyarakat maupun dengan alam sekitarnya. Oleh karena apa yang dilakukan justru sebaliknya, malahan menghancurkan/merusak keseimbangan atau harmoni hubungan manusia dan manusia lainnya maupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya, bahkan merusak hubungan manusia dengan Tuhannya.

Sebagai contoh: budaya wayang kulit yang telah diakui oleh Unesco sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" pada tahun 2003, didalamnya terdapat simbol-simbol etika Jawa. Kalau kita melihat wayang kulit hanya sekedar boneka terbuat dari cerma (kulit dan tulang) yang dimain-mainkan oleh sang dalang, meaningless, alias tidak punya arti apa-apa.

Menyelami budaya wayang kulit sampai kita mengerti makna simbol-simbol yang terkandung didalamnya adalah suatu "challenge" atau suatu tantangan. Seberapa banyak orang Jawa (Indonesia) saat ini mau menerima tantangan untuk mengerti budaya wayang kulit dengan mempelajari kemudian menterjemahkan menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung? Dalam Serat Centini Jilid 10 dikatakan bahwa: Nonton wayang harus mengerti cerma (kulit dan tulang) dan cermin. Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) yang dilihat tapi cermin dari sari cerita Ki Dalang.

Sedangkan budaya Jawa yang penuh simbol-simbol bukan saja wayang kulit, masih banyak yang lainnya. Siapa yang masih mau mempelajarinya? Apalagi menjalankannya dalam perbuatan nyata.

Apakah perlu para anggota Badan Kehormatan DPR belajar etika ke Yunani? Mau belajar Etika Barat yang telah menghasilkan Eropa berabad-abad lamanya menjadi negara-negara penjajah? Menghasilkan masyarakat Amerika Serikat yang pragmatis, cenderung ke atheis? Kenapa tidak belajar etika saja ke Yogyakarta, belajar dengan Ki Manteb Sudarsana, menterjemahkan cerita wayang kulit menjadi suatu ajaran etika yang adhi luhung, asli budaya Jawa, asli budaya Indonesia. Ini yang namanya "wong Jawa ilang Jawane" atau mungkin bisa diperluas menjadi "orang Indonesia, hilang Indonesia-nya".

Bagaimana hubungan kerajaan Yogyakarta dengan simbol-simbol yang kurang mampu ditangkap oleh pemimpin tertinggi di NKRI ini yang menafsirkan kerajaan Yogyakarta sebagai simbol monarki (dalam realitasnya di DIY Yogyakarta ada DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan realitas ini saja simbol monarki kerajaan Yogyakarta sudah terbantahkan dengan sendirinya). Ini adalah pernyataan yang cenderung merusak keseimbangan dan harmoni yang ingin dijaga dalam tata masyarakat Jawa, suatu simbol bahwa orang Jawa sudah mulai hilang Jawanya.

Ada suatu legenda yang hidup tentang Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram) yang bertapa di gunung Dlepih dan berhasil memperistri Nyi Loro Kidul sebagai penguasa makhluk halus di lautan dan sekaligus anaknya Ratu Widanangga sebagai penguasa mahluk halus di daratan. Keduanya berjanji akan membantu menjaga kerajaan Mataram masing-masing dari lautan dan daratan. Keduanya saat ini diperlambangkan dengan keberadaan Laut Selatan dan Gunung Merapi yang mengapit kerajaan (keraton) Yogyakarta.

Seperti halnya banyak legenda, tidak bisa diartikan bahwa kejadiannya memang begitu, tapi orang Jawa harus pandai menterjemahkan menjadi simbol-simbol yang lebih nyata sebagai suatu ajaran etika. Pernikahan itu juga berarti janji hidup semati. Sudah sering diceritakan bahwa simbol keberadaan Laut Selatan adalah hubungan horizontal antara kerajaan (negara) dengan rakyatnya, bagaimana keberadaan kerajaaan (negara) berjanji menjaga keseimbangan horizontal dengan rakyatnya atau menyejahterakan rakyatnya. Sedangkan keberadaan Gunung Merapi adalah hubungan vertikal bahwa kerajaan (negara) berjanji memberi contoh hubungan yang serasi antara masyarakat dengan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa). Pengkhianatan terhadap sikap dasar keberadaan kerajaan (negara) terhadap pernikahan (janji) ini pasti akan menimbulkan goro-goro atau konsekwensi kerusakan.

Oleh karena itu bagi orang Jawa, keberadaan kerajaan Yogyakarta adalah simbol dari komitmen kerajaaan (negara) terhadap ketaatan kerjaaan (negara) terhadap amanat untuk menyejahterakan rakyatnya sambil menjaga ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau mau merusak keseimbangan kehidupan di pulau Jawa (Indonesia) ya silahkan saja. Kehidupan manusia, bangsa, kerajaan dan negara sudah punya garis nasibnya masing-masing.

Bahwa pada bulan Mei 2006 terjadi gempa bumi yang berpusat di Laut Selatan di Yogyakarta ini adalah suatu simbol bahwa alam menagih janji pernikahannya bahwa kerajaan (negara) telah menyalahi janjinya untuk menyejahterakan rakyatnya. Suatu intropeksi tentunya hanya bisa dilakukan oleh para penguasa kerajaan Yogyakarta secara mininya atau negara (NKRI) secara maxinya apakah sudah secara bersungguh-sungguh melakukan segala upaya untuk menyejahterakan rakyatnya? Apakah kerajaan (negara) selalu menjaga keserasian horizontal.

Bahwa pada bulan Oktober/November 2010 terjadi bencana Gunung Merapi dengan aliran menuju keraton Yogyakarta adalah suatu simbol bahwa alam menagih janji pernikahannya bahwa kerajaaan (negara) telah menyalahi janjinya untuk memberikan contoh kepada rakyatnya akan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu instropeksi hanya bisa dilakukan para penguasa kerajaan Yogyakarta secara mininya atau negara (NKRI) secara maxinya apakah sudah secara bersungguh-sungguh melakukan segala daya upaya untuk memberi contoh pada masyarakatnya untuk mentaati semua perintah Tuhan Yang Maha Esa (terutama perintah menjalankan perbuatan yang baik)? Apakah kerajaan (negara) selalu menjaga keserasian vertikal?

Janji adalah hutang, pada saatnya pasti akan ditagih cepat atau lambat. Kalau tidak ditagih didunia, kalau kita tidak atheis dan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, pasti akan ditagih di akhirat. Kita bisa membaca simbol-simbol gejala alam bahkan juga legenda untuk bisa mengerti simbol-simbol ini. Kalau sebagian besar, para pimpinan negara, tidak tahu atau tidak mau tahu simbol-simbol ini, ini adalah gejala orang Jawa hilang Jawanya atau secara luas orang Indonesia hilang Indonesia-nya.

Bahasa ucapan dan bahasa tulisan punya banyak keterbatasan oleh karena itu bahasa simbol diperlukan. Sebagai contoh simbol Garuda Pancasila (yang juga lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang begitu hebat menghiasi ruangan yang sering dipakai rapat paripurna di Gedung DPR adalah meaningless, tidak ada artinya apa-apa, kalau hanya berfungsi sebagai pajangan. Kecuali para anggota DPR (atau para pimpinan negara lainnya) mampu menterjemahkan simbol-simbol yang ada didalamnya yaitu simbol-simbol Pansasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk ajaran etika yang dilaksanakan. Apakah para pimpinan negara masih menganggap menterjemahkan simbol-simbol adalah sesuatu yang mistis?

Ketumpulan menterjemahkan simbol-simbol, adalah salah satu kelemahan para pimpinan negara saat ini, oleh karena itu para pimpinan negara saat ini tidak mampu mengatasi masalah besar bangsa ini: korupsi, tertib hukum, dan kemiskinan. Suatu refleksi dari orang Jawa hilang Jawanya atau secara luas orang Indonesia hilang Indonesia-nya. Mudah-mudahan bukan gejala suatu bangsa sedang menuju kepada kehancurannya atau kebangkitan kembali setelah melalui proses kehancurannya.


Sumber

:iloveindonesias

Postingan menarik lainnya:

08 Sep, 2012


-
Source: http://kaskusbetarefresh.blogspot.com/2012/09/orang-jawa-hilang-jawanya-wong-jawa.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Diterbitkan Oleh : Lebihunik.com

ARTIKEL TERKAIT